Mendukung Indonesia Terang dengan Pembangkit Hybrid Skala Kecil di Nusa Tenggara Timur

Bayu Wirawan*

 

Elektrifikasi di Sumba – Nusa Tenggara Timur

Pemerataan jaringan energi masih menjadi isu mendasar di Indonesia. Geografis Indonesia yang terdiri dari beribu pulau menjadi salah satu tantangan besar dalam memastikan jaringan energi dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.  Pada artikel ini, Rumah Pangripta mengangkat upaya yang dilakukan kolega kami, Endang Kuswandi, salah satu pendiri Hywind Energy Solution Indonesia (selanjutnya disebut Hywind), dalam upayanya mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai sumber pembangkit listrik untuk skala desa di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTT).

Provinsi NTT merupakan provinsi dengan elektrifikasi paling rendah di Indonesia.  Dalam skala provinsi, tingkat elektrifikasinya “hanya” 59,85%. Hal ini menjadi suatu kontradiksi ketika beban puncak yang dialami PLN di NTT baru sekitar 76% dari kapasitas yang tersedia (1). Tantangan utama terkait pengembangan jaringan PLN di Provinsi ini adalah bentuk geografis NTT yang berupa gugusan pulau serta rendahnya kepadatan penduduk.  Gubernur NTT bahkan memiliki pernyataan tentang ini, yaitu (2)

Kalau di NTT, bangun 10 tiang listrik diperuntukan bagi satu rumah. Tapi di Pulau Jawa, bangun satu tiang listrik untuk 10 rumah”

Melihat kondisi tersebut Pemerintah Indonesia melalui Program Indonesia Terang ingin memastikan ketersediaan listrik bagi seluruh desa di NTT dapat tercapai. Salah satu metode yang digunakan adalah pengembangan skala kecil sumber pembangkit listrik yang tidak tersambung dengan jaringan utama (off grid) berbasis teknologi energi terbarukan. Untuk NTT, alternatif sumber energi yang melimpah dan belum termanfaatkan adalah angin, air, biogas, biomassa dan tenaga matahari. Pemanfaatan dari sumber energi alternatif tersebut tidak harus satu sumber untuk satu desa, tetapi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber (hybrid untuk satu desa). 

Salah satu program pengembangan energi di NTT adalah melalui program Sumba Iconic Island (SII).  SII pada dasarnya berisikan kesepakatan antara empat kabupaten di Pulau Sumba dan Provinsi NTT untuk menjadikan Pulau Sumba sebagai pulau yang mandiri energi di tahun 2025.  Kemandirian tersebut diwujudkan melalui pencapaian jangkauan elektrifikasi untuk 95% penduduk yang keseluruhannya (100%) diperoleh melalui sumber energi baru dan terbarukan.

Pengembangan Jaringan Hybrid Skala Kecil

Di Pulau Sumba, Hywind memilih tiga desa sebagai lokasi perintis pengembangan sistem pembangkit listrik hybrid skala kecil. Lokasi yang dipilih sebagai lokasi perintis adalah Desa Kandora, Desa Maujawa, dan Desa Wira. Seluruh Desa ini berada di Kabupaten Sumba Timur.

Lokasi Project Hywind.png

Sementara sistem hybrid yang digunakan adalah penggabungan sumber energi tenaga matahari dan angin.  Sistem off grid skala kecil ini dapat mendukung maksimal tiga puluh rumah dimana pada masing-masing rumah dapat digunakan untuk penerangan dengan lampu LED 12 watt. Sistem ini juga dapat mendukung penerangan jalan umum (PJU) sebanyak delapan titik dengan masing-masing titik menggunakan lampu 9 watt. Dengan total pembangunan untuk tiga sistem, sistem hybrid ini akan dapat melayani secara total sembilan puluh rumah di tiga desa.  Angka ini sepertinya kecil, akan tetapi bagi masyarakat pedesaan yang tidak pernah menerima manfaat dari penerangan yang cukup di malam hari, hal ini sangatlah berarti. Kali (2012) menyatakan bahwa adanya penerangan di malam hari dapat mendukung aktivitas belajar lebih panjang dan lebih baik sehingga dapat berdampak secara langsung pada peningkatan mutu pendidikan (3).

wind solar hybrid system.png

Dalam kerangka besar, pengembangan sistem hybrid merupakan langkah menuju pencapaian SII berbasis 100% energi terbarukan. Pengembangan ini bagian dari rencana pembangunan pembangkit tenaga angin sebesar 3 MW yang selanjutnya akan dikerjasamakan dengan PLN melalui mekanisme Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA).  Sumber pendanaan dari program yang dibangun oleh Hywind berasal dari CSR perusahaan. Hywind sangat menyadari bahwa untuk mengembangkan sistem sejenis di lokasi-lokasi yang terpencil serta belum terjangkau jaringan PLN (off grid), diperlukan adanya mekanisme yang lebih kuat disertai dengan dukungan dari banyak pemangku kepentingan.

Tidak hanya membantu dalam proses konstruksi, Hywind juga berupaya untuk memastikan penerima manfaat dari kegiatan ini dapat memanfaatkan sumber energi yang diterima secara berkelanjutan. Terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan ini. Tahap pertama adalah diseminasi kepada masyarakat atau kepala desa untuk memastikan bahwa masyarakat penerima manfaat benar-benar memahami apa manfaat dan tantangan dari proyek ini.  Pasca tahap pertama, kemudian dilakukan dengan tahapan pelatihan kepada pemuda lokal dalam memahami cara kerja dan pemasangan dari sistem pembangkit tenaga listrik hibrida. Hal ini dilakukan untuk memastikan alih pengetahuan dapat terlaksana . Pelatihan ini dilakukan di pusat pelatihan Asosiasi Energi Angin Indonesia (AEAI) di Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Tahapan berikutnya adalah tahapan pengadaan serta pengiriman material yang diperlukan.  Tahapan terakhir adalah tahapan pembangunan dan instalasi jaringan di lokasi. Pada tahapan ini, Hywind memastikan bahwa peserta pelatihan di Lembang dapat memimpin proses instalasi serta masyarakat juga turut terlibat dalam proses pembangunan. Untuk menjamin adanya rasa kepemilikan dan tanggung jawab pengelolaan di tingkat masyarakat lokal, maka masyarakat harus berpartisipasi dalam bentuk iuran rutin bulanan yang dipergunakan untuk biaya perawatan, insentif bagi pengelola sistem, dan pembelian suku cadang atau baterai baru bila diperlukan.  

Small Scale Hybrid EnergyPembangkit Hybrid Skala Kecil yang telah terbangun di Desa Maujawa, Sumba Timur, Provinsi NTT (Foto: Hywind Indonesia)

Pembelajaran dari Prakarsa Hywind

Upaya yang dilakukan Hywind adalah langkah awal dalam transisi sistem penyediaan jaringan energi di Indonesia. Tidak hanya bergantung pada sistem jaringan skala besar dimana pengembangannya bertahap mengikuti jaringan yang sudah ada, sistem ini dapat lebih lincah menjangkau lokasi-lokasi yang jauh dari sistem jaringan utama. Adanya kelincahan ini dapat menjamin adanya keterjangkauan yang lebih luas pada desa-desa yang lokasinya terpencil.  Sifat jaringannya yang skala kecil juga dapat mendukung kebutuhan skala desa yang tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah, sehingga dapat menghemat anggaran, terutama terkait dengan anggaran penyambungan dengan jaringan utama, serta masyarakat lokal dapat memperoleh dan mengelola jaringan energi sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka. Adanya pelatihan terhadap pemuda lokal juga menjadi hal bekal utama untuk memastikan sumber daya manusia lokal di Sumba dapat mengelola dan merawat sistem ini dengan baik.  

Sistem hybrid ini juga sangat berarti dalam mewujudkan pengembangan jaringan energi ramah lingkungan. Pengembangan ini merupakan salah satu bentuk prakarsa di tingkat tapak yang dapat memberikan kontribusi dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Hal seperti ini dapat menjadi pembelajaran terutama bagi pulau-pulau kecil lain di Indonesia untuk dapat mengembangkan jaringan energinya secara mandiri berdasar sumber energi yang mereka miliki. Adanya kemandirian ini akan dapat mengurangi ketergantungan pulau-pulau kecil dari sumber energi berbasis bahan bakar fosil yang harus diimpor dari daerah lain, yang kemudian dapat berujung pada efisiensi sumber daya keuangan lokal.

Hal yang perlu diperhatikan dari kegiatan yang dilakukan Hywind adalah efektifitas dari pemilihan lokasi.  Lokasi yang dipilih diperkirakan tidak jauh dari jaringan PLN yang sudah ada. Di luar aspek teknis seperti kecepatan angin dan luasan penyinaran matahari, penulis bertanya-tanya apakah lokasi yang terpilih merupakan lokasi yang tepat? Penulis juga melihat bahwa upaya ini adalah dimaksudkan sebagai embrio pengembangan sistem jaringan cerdas (smart grid) dimana nantinya masyarakat dapat menjual listrik ke PLN, yang menjadi pertanyaan adalah apakah seberapa besar pengembangan skala kecil hybrid yang tersebar ini dapat memberikan bangkitan energi yang cukup untuk dapat dijual ke PLN mengingat bangkitan per desanya saat ini sangat kecil?  

 

*Penulis adalah admin dari Rumah Pangripta

2 comments

Leave a comment