Urban Premanism

oleh Alvaryan

Akses terhadap pelayanan dasar yang tidak merata merupakan salah satu isu dalam wacana perkotaan. Pseudo-urbanisasi, yaitu tidak sebandingnya peningkatan pelayanan dasar dibandingkan jumlah penduduk urban, menjadi salah satu penyebabnya. Adanya persaingan tersebut mendorong persaingan sehingga menurut mekanisme pasar, permintaan yang lebih tinggi dibandingkan suplai akan meningkatkan harga untuk bisa mengakses layanan dasar. Kenaikan harga ini kemudian memperparah kondisi akses pelayanan dasar.

Adanya gap antara permintaan dan kebutuhan terhadap layanan dasar tersebut kemudian mendorong lahirnya sektor informal, baik sebagai konsumen mau pun sebagai penyedia layanan.

Kelas menengah kebawah yang tidak mampu mengakses pelayanan yang disediakan mencari alternatif lain ke sektor informal untuk harga yang lebih murah. Di sisi lain, permintaan terhadap layanan informal yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit menjadi lapangan pekerjaan baru bagi kelompok masyarakat yang tidak terserap dalam sektor tenaga kerja.

Permintaan dan penyediaan akses layanan ini membutuhkan sumberdaya lain untuk dimanfaatkan. Sumberdaya tersebut harus murah agar memenuhi daya beli sehingga tidak mungkin untuk turut bersaing dalam pasar sumberdaya utama. Satu-satunya cara untuk menyediakan sumberdaya yang murah adalah dengan mengakses sumberdaya secara ilegal.

Otoritas dan penegak hukum tentu tidak akan tinggal diam apabila ada ekstraksi ilegal terhadap sumberdaya yang secara hukum menjadi objek regulasi. Dibutuhkan kekuatan tertentu agar praktik akses sumberdaya ilegal tersebut tidak ditertibkan oleh otoritas dan penegak hukum. Preman, setoran, jatah, dan istilah-istilah yang sering bermunculan dalam percakapan seharian adalah manifestasi dari relasi aktor dengan kekuatan akses informal tersebut.

Praktis tersebut kekuatan tersebut hanya dimiliki oleh aktor-aktor yang memiliki relasi dengan otoritas. Dalam wacana perkotaan, fenomena ini sering disebut “politik jatah preman”. Ada transaksi antara politisi dengan preman untuk sama-sama memenuhi interest mereka. Politisi mungkin membutuhkan masa, sementara para preman tadi membutuhkan approval dari otoritas agar tetap bisa memiliki akses terhadap sumber daya ilegal mereka.

Dalam kasus parkir liar perkotaan, hipotesis ini dapat diuji. Minimnya transportasi masal yang layak dan murah mendorong masyarakat kelas menangah ke bawah untuk memiliki kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi tentu membutuhkan lahan parkir. Akses terhadap lahan parkir resmi tentu lebih tinggi harganya. Pada titik itulah kebutuhan akan ruang parkir yang lebih murah agar ongkos mobilitas masyarakat kelas menengah bawah terpenuhi. Lahan-lahan yang “tidak bertuan” seperti trotoar atau bahu jalan kemudian dimanfaatkan atau diakses secara ilegal oleh para preman untuk menyediakan layanan secara informal dengan harga miring.

Sekilas penyediaan tersebut terkesan tidak merugikan. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya sumberdaya yang diakses secara ilegal oleh para preman tadi untuk menyediakan layanan informal adalah sumberdaya publik. Dalam kasus lahan parkir tadi, pengguna kendaraan dan pengelola parkir liar sama-sama mendapatkan keuntungan. Yang dirugikan adalah publik dan masyarakat perkotaan secara luas karena ada ruang publik seperti trotoar dan bahu jalan yang digunakan untuk peruntukan lain dan menyebabkan kemacetan.

Tujuan utama dari argumen ini adalah memberikan perspektif lain dalam memandang relasi premanisme, informality, dan penyediaan layanan dasar di perkotaan. Selama ini otoritas cenderung melihat sektor informal sebagai benalu yang perlu diberantas demi menjaga kenyamanan dan ketertiban publik. Namun dengan melihat relasi yang lebih jauh dari preman dan sektor informal terhadap pelayanan dasar, maka tidak salah pula jika memandang informality dan premanisme sebagai implikasi dari ketidakmampuan dalam menyediakan layanan dasar bagi masyarakat.

Referensi

Mitlin, D. (2014). Politics, informality and clientelism–exploring a pro-poor urban politics.

Simone, A. (2015). The urban poor and their ambivalent exceptionalities: Some notes from Jakarta. Current Anthropology, 56(S11), S15-S23.

Wiryomartono, B. Patrimonialism And Territorial Control: Premanisme In Urban Java Indonesia.

Leave a comment